dekrit.id – JAKARTA, Pada November 1998 transisi Indonesia menyelenggarakan Sidang Istimewa (SI) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun, mahasiswa dan rakyat menggelar aksi protes.
Mereka menolak pelaksanaan SI MPR. Mereka menganggap pemerintahan Habibie dan DPR/MPR masih produk orde baru. Selain itu, mereka juga menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI.
Bersamaan dengan pelaksanaan sidang, mahasiswa dan rakyat menggelar aksi besar-besaran. Pada hari pertama, 11 November 1998, massa bergerak dari Salemba. Mereka dihadang oleh PAM Swakarsa bentukan tentara/Wiranto.
Pada hari kedua, 12 November 1998, ratusan ribu massa bergerak menuju gedung DPR/MPR tetapi dihadang oleh TNI, Brimob, dan PAM Swakarsa.
Puncaknya, pada 13 November 1998, jumlah massa makin membesar. Mereka tumpah di daerah Semanggi dan sekitarnya. Menjelang sore hari, aparat dan kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa.

Bentrokan pun pecah. Banyak massa yang mundur ke kampus Universitas Atmajaya. Namun, aparat terus mengejar dan melepaskan tembakan peluru tajam.
Kejadian itu menyebabkan 17 korban jiwa terdiri dari 6 mahasiswa, 2 pelajar SMA, 2 anggota Polri, 1 Satpam, 4 anggota PAM Swakarsa, dan 3 warga sipil. Sebanyak 456 orang mengalami luka akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras.
Tidak Ada Titik Terang
Tahun 2000, tekanan massa dan keluarga korban berhasil memaksa DPR membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan II (TSS). Sayang sekali, setahun bekerja, Pansus itu menyebut tidak ada pelanggaran HAM dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan II.
Komnas HAM kemudian mengambilalih kasus ini dan membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Berat Trisakti Semanggi I dan II.
Hasilnya, pada 21 Maret 2002, KPP HAM Trisakti menyimpulkan sebanyak 50 anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Polri diduga kuat terlibat dalam pelanggaran HAM berat di kedua peristiwa tersebut.
Kendati sejak tahun 2000 Indonesia sudah punya UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, tetapi pengadilan HAM tidak kunjung terbentuk.
Sejak 2002 silam, Komnas HAM sudah menyerahkan hampir selusin kasus pelanggaran HAM ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti. Namun, berkas-berkas itu hanya bolak-balik dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung dan sebaliknya.
Puncak komedinya, pada tahun 2020, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyebut tragedi Semanggi I dan II bukan sebagai pelanggaran HAM berat.
Kecewa dengan pernyataan itu, keluarga korban kemudian menggugat ke PTUN. Hasilnya, PTUN menilai pernyataan Jaksa Agung tersebut tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Burhanuddin juga dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum.
Sayang sekali, Kejaksaan Agung melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. MA kemudian memenangkan Burhanuddin.
Hari ini, 24 tahun sudah berlalu, Tragedi Semanggi I tetap tak menunjukkan titik terang. Presiden Joko Widodo, yang saat kampanye Pemilu berjanji menyelesaikan pelanggaran HAM, tak juga membuat titik terang.
Sumber: Berdikari online.

Discussion about this post