Oleh: Nancy Angelia Purba
KEINGINAN untuk memberikan ilmu pengetahuan yang sebanyak-banyaknya kepada peserta didik merupakan dorongan logis bagi dosen termasuk guru untuk memerankan dirinya sebagai pengajar. Dia akan berusaha semaksimal mungkin agar setiap ilmu dan pengetahuan yang dimiliki dapat tersampaikan kepada siswa dalam waktu singkat. Tentu saja cara yang paling mudah adalah menggunakan seluruh waktu pertemuan kelas untuk siap menerima berbagai informasi yang disampaikan agar ilmu pengetahuannya bertambah.
Fungsi dan peran seperti ini sering menempatkan guru pada otoritas yang berlebihan, seperti sebagai sumber informasi tunggal dan sebagai pusat aktivitas pembelajaran, sehingga siswa mirip sebagai objek pasif, bejana kosong yang harus diisi sejumlah informasi. Dominasi guru dalam interaksi belajar mengajar di dalam kelas seperti itu dapat menimbulkan apatisme dan sikap pasif siswa karena kreativitasnya terhambat pada yang akhirnya mengurangi kualitas hasil belajar.
Undang-undang 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan tujuan pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Usaha dalam bidang pendidikan bukan usaha yang berlangsung dan berlalu tanpa rencana. Dalam hal ini Undang-undang tersebut juga memberikan batasan pengertian yang jelas. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia yang diperlukan masyarakat, bangsa dan negara.

Jika diungkapkan kembali sejak mulai dari defenisi, tujuan dan fungsi pendidikan yang diberlakukan di Indonesia semua mempunyai titik penekanan pada pembentukan akhlak mulia, pembentukan kepribadian atau watak bagi peserta didik. Akhlak mulia dan kepribadian yang penuh dengan tanggung jawab menjadi bagian yang penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Ilmu pengetahuan yang dipelajari dan dikembangkan bukan ilmu pengetahuan yang bebas nilai, melainkan sarat dengan muatan-muatan untuk mewujudkan kepribadian yang beradab sekaligus mempunyai nilai kompetitif dari segala aspek. Nilai tersebut tentunya juga harus dibarengi dengan kemampuan siswa.
Berkembangnya perilaku menyimpang di bangsa ini seperti, kolusi, korupsi, kekerasan dan lemahnya disiplin serta hilangnya rasa tanggung jawab merupakan salah satu bentuk manifestasi dari terkikisnya integritas kepribadian yang sesungguhnya diharapkan dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia. Banyaknya perilaku buruk ini merupakan bukti nyata bahwa pendidikan telah gagal dalam menanamkan nilai-nilai integritas kepribadian atau memang merupakan penyakit yang justru sudah dipelihara sejak anak bangsa ini mengecap dunia pendidikan.
Sebagai contoh perilaku kekerasan dalam pendidikan pamong praja merupakan tindakan melecehkan martabat manusia dan bangsa Indonesia. Itu adalah tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilegalisasi melalui sistem pendidikan.
Belum lama ini bentuk kekerasaan dalam dunia pendidikan semakin memprihatinkan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis hasil pengawasan dan pengaduan kekerasan di lembaga pendidikan. Sejak bulan Januari hingga Oktober 2019, tercatat 127 kasus kekerasan yang terdiri dari kekerasan fisik, psikis dan seksual. Kekerasan di lembaga pendidikan melibatkan guru atau kepala sekolah, siswa, dan orang tua siswa
Berdasarkan data KPAI, kekerasan seksual berjumlah 17 kasus dengan korban 89 anak, yang terdiri darj 55 anak perempuan dan 34 anak laki-laki. Pelaku mayoritas adalah guru 88 persen dan kepala sekolah 22 persen. Fakta tersebut tentu sangat memperhatikan,bukan? Sekolah (ecole) yang seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan berubah menjadi tempat yang mengerikan bahkan sampai mengancam nyawa. Tempat berkumpul untuk bersosialisasi, justru menjadi tempat praktek kekerasan.
Sesungguhnya aspek pendidikan yang tak sepenuhnya dapat dikelola sebagai rumah kaca pembelajaran yang terbebaskan dari pengaruh buruk lingkungan eksternal justru memungkinkan munculnya spiral kekerasan dalam pendidikan. Fenomena kekerasan yang mewarnai dunia pendidikan setidaknya dapat dilihat dari tiga titik persoalan sebagai berikut:
Pertama, dialog humanis antar guru maupun sesama siswa, orangtua belum menjadi kebutuhan bersama dalam memahami hakikat sekolah itu sendiri. Sejak awal masuk sekolah, siswa tidak dilibatkan dalam mendiskusikan kebjakan yang akan dibuat sekolah termasuk aturan main dan sanksi, sehingga pihak pemberi sanksi merasa pelanggaran yang disertai hukuman wajib dilaksanakan. Begitu juga dengan sanksi yang melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, sehingga aksi balas dendam kekerasan akan terjadi baik baik itu antar siswa maupun guru dan siswa.
Kedua, kekerasan dalam lingkungan sekolah mengambil titik tolak dari sesuatu yang sangat stabil, yakni kekacauan makna akan kompetisi. Tak dapat dibantah fakta dan kenyataan bahwa sekolah merupakan sebuah lingkungan sosial yang mana setiap siswa saling dikompetisikan dengan siswa lain berdasarkan takaran yang tak sepenuhnya bercorak humanistik trasendental. Kompetisi merupakan racun mematikan pendidikan. Ia membunuh kreativitas pendidikan itu sendiri, beserta kemanusiaan para pendidik dan peserta didik. Kebahagiaan dan spontanitas kehidupan dilenyapkan atas dasar kepatuhan buta dan ambisi untuk menjadi yang nomor satu.
Ketiga, kekerasan dalam pendidikan menemukan aksentuasinya sangat mencolok dari tergerusnya pelayanan negara dalam bidang pendidikan. Amanat konstitusi bahwa negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, memposisikan pendidikan sebagai aspek pelayanan negara yang sangat penting dan menentukan. Pada pelayanan negara itulah pendidikan justru diharapkan mampu mencapai tujuan yang luhur, yaitu mempertegas dimensi manusia dalam pembangunan.
Sejatinya, pendidikan memiliki tujuan yang amat luhur. Ia membebaskan manusia dari kungkungan kebodohan dan kemiskinan. Ia menyadarkan orang akan tempatnya tidak hanya di dalam masyarakat, tetapi di dalam semesta yang tak berhingga ini. Dari kesadaran tersebut lahirlah kebahagiaan sejati di dalam diri yang tidak tergantung pada apapun, baik oleh harta, kuasa maupun kenikmatan badani semata.
Sayangnya, pendidikan kita telah melintir jauh dari hakekatnya. Ia tidak lagi mencerdaskan dan membebaskan, melainkan justru memperbodoh dan memenjara pikiran. Proses pendidikan tidak lagi menjadi proses yang membahagiakan dan menyadarkan, melainkan justru menyiksa batin dan menumpulkan rasa.
Jalan Keluar
Memutus spiral kekerasan dalam institusi pendidikan jelas bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan kerjasama antara guru, siswa, dan orangtua dalam satu kesatuan yang saling mendukung. Sungguh pun demikian, setiap institusi pendidikan harus melakukan upaya seksama agar jangan sampai bergeser menjadi domain timbulnya kekerasan. Tiga contoh bentuk kekerasan di atas penting dipertimbangkan sebagai perspektif dalam menyibak hakikat kekerasan yang seperti tak habis-habisnya bergemuruh di pendidikan tanah air.
Jalan keluar dari ketiga yang bersangkut paut dengan tata kelola pendidikan secara keseluruhan pada tingkat nasional. Sudah saatnya negara memposisikan pendidikan sebagai medan pengabdian terhadap masyarakat dan bangsa ini secara keseluruhan. Kebajikan negara terhadap rakyat harus menemukan aktualisasinya dalam pelayanan bidang pendidikan. Alasan pendidikan tidak mungkin lagi diberlakukan sebagai proyek. Sejauh mana masih memposisikan pelayanan bidang pendidikan semata sebagai proyek, maka sejauh itu pula pelayanan pendidikan rentan dikacaubalaukan oleh perilaku korupsi yang eksesif. Jika demikian yang terjadi, lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia rentan menjadi sarang timbulnya kekerasan.
Akhirnya, mengembalikan makna sekolah merupakan suatu tuntutan sekaligus keharusan yang dilaksanakan semua pihak. Sekolah dalam arti yang luas adalah proses memanusiakan manusia dan wahana mendorong rasa ingin tahu dan kreativitas anak di segala bidang, sambil dibalut dengan nilai-nilai kosmopolit yang universal. Semoga ini menjadi perhatian dan kebutuhan kita bersama.
Penulis adalah dosen Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar.

Discussion about this post