Dekrit.id|Siantar-Puluhan mahasiswa Politeknik Gihon yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Gihon Menggugat (AMGM) melaporkan kasus penahanan ijazah yang dilakukan pihak manajemen kampus ke kantor lembaga layanan pendidikan tinggi (LLDIKTI) wilayah 1 Sumut, pada Jumat, 2 Oktober 2020.
Koordinator AMGM Andry Napitupulu mengatakan, pihak manajemen kampus Politeknik Gihon menahan ijazah SD-SMP-SMA milik mereka.
“Pertama kali mendaftar kami diwajibkan menyerahkan ijazah asli SD-SMP-SMA sebagai barang jaminan agar kami kuliah di Gihon.” ujar Andry.
Andry menjelaskan bahwa ijazah asli SD-SMP-SMA tidak dapat dijadikan barang jaminan sehingga mereka bersepakat untuk meminta kembali ijazah mereka.
“Kami tidak sedang bertransaksi jual beli atau pinjam-meminjam, kenapa harus diminta ijazah menjadi jaminan? Ini sudah murni penggelapan,” terang Andry, dalam keterangan tertulis, Senin 5 Oktober 2020.
Kasus penahanan ijazah yang dialami mahasiswa itu sebelumnya telah dibicarakan dengan direktur. Alih-alih mendapat solusi, pihak manajemen Gihon kata Andry malah meminta mahasiswa membuat surat pengunduran diri dan membayar kerugian kampus.
“Kami hanya mau ijazah kami dikembalikan karena besar risiko jika kampus nekat menahan ijazah asli SD-SMP-SMA seluruh mahasiswa Gihon yang berjumlah ratusan orang, sementara kami disuruh membayar kerugian kampus yang kami tidak tau apa maksudnya,” ujarnya.
Andry menjelaskan saat pertama kali mereka masuk kampus Gihon, mereka diiming-imingkan uang kuliah gratis dan tidak ada perjanjian untuk membayar atau mengganti rugi uang kuliah bila mahasiswa di-drop out, sehingga ia menilai SK Direktur yang mewajibkan mahasiswa membayar kerugian yakni uang kuliah selama mereka kuliah di Gihon sangat diskriminatif. Andry sendiri mendapat intimidasi yakni ancaman drop out karena mencoba mengajak rekan-rekannya untuk meminta kembali ijazah mereka.
“Padahal sampai detik ini selembar surat DO pun tidak berani mereka tunjukkan ke saya, sedangkan saya dihalangi masuk kampus untuk meminta ijazah saya. Jelas di sini direktur sesuka hati memperlakukan mahasiswa,” beber Andry sembari menyebut akan melanjutkan kasus DO nya ke pengadilan.
Terkait masalah itu, ia berharap Kepala LLDIKTI Prof Dian Armanto dapat segera membantu mengatasi persoalan ini karena telah mencoreng dunia pendidikan tinggi khususnya di Siantar-Simalungun.
“Kami juga sudah melaporkan kasus ini kepada Ombudsman RI supaya bisa mengawal perkembangan kasus ini,” pungkas Andry.
Aksi Demo di Kampus Gihon
Sebelum melaporkan kasus penahanan ijazah ke LLDIKTI , mereka juga demonstrasi di lingkungan kampus pada hari Senin 21 September 2020.
Demonstrasi itu mereka lalukan lantaran tuntutan mengembalikan ijazah tidak direspon pihak kampus Gihon.
“Sebelum kami melakukan aksi, kami sudah pernah melakukan pertemuan dengan petinggi kampus, dalam hal ini Yayasan. Tapi belum ada jalan keluar yang baik atas permasalahan kami (mahasiswa) setelah pertemuan itu”, Kata Andry. “Malah pihak kampus memanggil beberapa orang tua kami yang dinilai sebagai provokator, bukan fokus pada solusi terbaik dan bijaksana dalam menyelesaikan konflik antara pihak kampus dengan mahasiswa,” kata Andry kala itu.
Dalam aksi itu mereka menuntut kampus Gihon ditutup, ijazah SD, SMP. SMA/SMK) milik mahasiswa dikembalikan hingga janji manis dan akreditasi kampus yang tidak jelas.
Tak hanya Andry yang mengeluh, rekannya bernama Cahaya Siregar juga kecewa dengan pernyataan pihak kampus yang meminta untuk mengembalikan uang Bidikmisi yang diterimanya.
“Bagaimana mungkin kami mahasiswa yang menerima Bidikmisi harus mengembalikan uang yang sudah kami terima bila kami ingin keluar dari kampus dan mengambil Ijazah kami. Ini sangat tidak masuk akal bagi kami,” kata Cahaya sembari meneteskan air mata.
Elsa Sinaga juga kecewa dengan keputusan kampus yang dinilai memberatkan mahasiswa. Hal itu terlihat dari syarat menyusun tugas akhir (TA) mahasiswa yang harus dan wajib membawa calon mahasiswa baru (Camaba) untuk masuk ke kampus jika tidak, diancam harus membayar uang kuliah terhitung sejak awal masuk.
“Kita tidak keberatan bila membawa Camaba ke kampus Gihon, hanya saja bila menjadi sebuah keharusan serta menjadi syarat untuk menyelesaikan masa perkuliahan kami, hal itu sangat memberatkan,” imbuh Elsa.
Aksi itu berjalan dengan damai meskipun sempat terjadi penolakan dari pihak Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang nyaris memicu keributan yang diduga disuruh pihak kampus.
Akui Penahanan Ijazah
Direktur Politeknik Gihon Hasanuddin Sirait tak menampik penahanan ijazah yang dikeluhkan mahasiswanya. Hasanuddin berdalih, ihwal permasalahan itu berawal dari pandemi Covid-19 yang mengakibatkan keuangan Yayasan Gihon minim karena kurangnya pendapatan.
Ia menjelaskan, pada tanggal 28 Juli 2020 lalu, pihaknya bertemu dengan orang tua mahasiswa berdasarkan rapat oleh yayasan dan dosen. Saat itu pihak yayasan menjelaskan kondisi keuangan.
Dalam pertemuan itu orangtua, mahasisa dan pihak kampus bertukar pendapat bagaimana mengembangkan Politeknik Gihon. “Lalu kita berkomitmen, yakni setiap mahasiswa membawa orang untuk didaftarkan ke Politeknik Gihon. Saat itu beberapa orang tua setuju,” kata Hasanuddin saat jumpa pers pada Rabu 30 September 2020.
(dkt|*)
Discussion about this post