
Oleh: Pdt. Saut Sirait
Perbincangan hangat menyangkut sembahyang Minggu, termasuk juga sholat Jumat, masih terus menjadi trending topik. Banyak pihak beranggapan bahwa sembahyang di rumah mengurangi pahala, bahkan menganggap tidak memiliki kekuatan legitimasi spiritual.
Sembahyang, yang dari tradisi Hindia, Sembah Hyang, memiliki kesamaan arti dengan kata Tefilla (Ibrani), merupakan bentuk ritual umum. Dalam praktek, tefilla selalu mengandung *_tehilim_*, unsur nyanyian dalam pelbagai ragam, baik dengan syair maupun tidak (mamem). _Tehilim_ itu sangat penting untuk pengkondisian (conditioning), menciptakan suasana batin, emosi dan jiwa, religiusitas semua orang.
Dalam pelbagai tradisi tua, tehilim mampu menggiring jiwa seseorang mencapai situasi trancekesurupan.
Sesajen dalam makna “korban” hewan dan hasil panen sebagai persembahan mengalami transformasi dalam bentuk uang. Perkiraan kuat, kerajaan Persia yang memulai adanya mata uang dalam bentuk koin.

Pada mata uang itu ada gambar raja Persia yang dipahami juga sebagai dewa. Para ahli menyatakan bahwa mata uang juga merupakan bentuk penjajahan, terutama secara ekonomis dan religius.
Dalam tradisi agama Yahudi, penggantian ke dalam bentuk uang atau emas dimulai pada Tahun 312 SM. Di dalam Makabe 3: 10-11, Imam Agung..”memang ada uang di dalam perbendaharaan rumah Tuhan”. Persembahan dalam bentuk uang kemudian menjadi tradisi pada Tefilla.
Dalam tradisi kekristenan, pada awalnya tefilla dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Yesus yang dihukum mati dalam tatanan hukum imperium Romawi, berakibat pada pengikutnya. Tiap orang yang terbukti pengikut Yesus, dikenakan stigma penganut agama durjana yang ilegal. Status itu mengandung konsekuensi kejam. Seluruh penduduk wajib membunuh alias ‘halal’ darahnya.
Saulus menjadi salah satu aktor utama dalam pembantaian terhadap pengikut Yesus. Stefanus menjadi salah satu korban pembantaian yang dipimpin Saulus, (Kis. 11: 19).
Keadaan itu memaksa pengikut Yesus untuk melakukan Tefilla dengan sembunyi di rumah-rumah mereka. Pada perkembangan lanjut tefilla itu dalam bentuk keluarga, menjadi jemaat keluarga.
Sejak masa Sinagoge _tefilla_ menjadi *”core bussiness”* nya. Hal inilah yang kemudian diikuti gereja-gereja hingga saat ini.

Pemahaman yang dianut semua orang hingga saat ini selalu mengatakan ibadah Minggu. Padahal, ibadah dari asal kata *Abudah* merupakan tindakan, karya. Pengabdian dalam bentuk paling konkret. Yesus bahkan memberi jaminan terhadap orang yang melakukan ibadah (bukan tefilla) yang masuk beroleh hidup yang kekal (lihat Matius 25: 31-46). Sekali lagi, bukan tefilla, tetapi Abudah yang menjamin dan memastikan kehidupan kekal. Bukan berarti tefilla tidak penting. Perjumpaan dalam bentuk ritus sangat bermakna untuk memberi penguatan spritual, tetapi sekali lagi, tefilla bukan jalan raya keselamatan.
Bila perdebatan menyangkut tefilla ini mengharu biru di dalam jemaat dan terutama para pendeta, mari kembali belajar bersama. Karena tefilla itu dimulai di rumah, bersama keluarga. Selamat menjalani tefilla.
Penulis: Dosen STT HKBP

Discussion about this post